MORALITAS KORUPTOR
Abstrak
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana korupsi
semakin menjadi saat ini. Korupsi merupakan satu kekuatan yang merusak generasi
bangsa, perilaku korupsi akhir-akhir ini makin menjadi dilakukan oleh pejabat
negara tinggi negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi
kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh pejabat negara yang melakukan tindkaan
korupsi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap menjalankan
kehidupannya, manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku
dimasyarakat. Tidak seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma
atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa
yang disebut moral. Moral menekankan manusia untuk bisa mmbedakan mana
perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Manusia memang harus
mempunyai moral dalam kehidupan sehari-harinya, bayangkan jika seorang manusia
tidak mempunyai moral. Dia akan dianggap buruk oleh masyarakat. Pada penulisan
kali ini, penulis membicarakan tentang moral seorang koruptor. Koruptor yang
biasa disebut orang yang melakukan tindak pidana korupsi, merupakan salah satu
contoh bagaimana moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai
moral, tidak akan mudah melakukan hal seperti itu. Berdasarkan kajian diatas
penulis mengambil judul yang akan dijelaskan pada penulisan yang berjudul
“Moralitas Koruptor”
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini :
1.
Mengapa korupsi
bisa terjadi ?
2.
Bagaimana
dampaknya bagi kegiatan bisnis ?
3.
Siapa yang harus
bertanggung jawab ?
C. Batasan Masalah
Batasan masalah penelitian mencakup tentang moralitas dan juga korupsi
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian kali ini bertujuan :
1.
untuk mencari
tahu mengapa korupsi bisa terjadi.
2.
bagaimana dampaknya
bagi kegiatan bisnis.
3.
siapa yang harus
bertanggung jawab.
BAB II
LANDASAN
TEORI
A. Moralitas
Moralitas berasal dari kata
dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores” yang
berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain; akhlak
budi pekerti; dan susila. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani;
bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya.
Moral secara etimologi
diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku
pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan kata lain ajaran tentang
azas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistimatika dalam etika.
Dalam bahasa Yunani disebut “etos” menjadi istilah yang berarti norma,
aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk dalam hubungannya dengan
tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan motif, maksud dan watak
manusia. kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang memantulkan bagaimana
sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk.
Moralitas yang secara
leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik
atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan
buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau
suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.
W. Poespoprodjo, moralitas
adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa
perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan kata lain moralitas
mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.
Immanuel Kant, mengatakan bahwa
moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk, yang dalam bahasa Kant, apa yang
baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap pembatasan sama sekali. Kebaikan
moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa pembatasan, jadi yang baik bukan
hanya dari beberapa segi, melainkan baik begitu saja atau baik secara mutlak.
B. Korupsi
Korupsi merupakan sebuah
kata yang tidak asing lagi kebanyakan orang. Kata ini sudah menjadi buah bibir
bagi pemberitaan-pemberitaan saat ini. Indonesia salah satu Negara yang
termasuk tinggi dalam tingkat korupsinya. Korupsi banyak yang mengartikan bahwa
sebuah sogokan atau mengambil yang bukan merupakan haknya, mungkin banyak arti
lain dari koupsi. Tetapi, pada intinya korupsi itu merupakan sebuah hal yang
dapat merugikan bagi setiap Negara. Untuk mempelajari lebih lanjut, saya akan
memberikan sebuah pengertian-pengertian korupsi dari sumber-sumber terpercaya.
C. Dampak Negatif Korupsi
1. Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan
serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi
mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum
dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat.
Secara umum, korupsi
mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur,
penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena
prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan
dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
2. Ekonomi
Korupsi juga mempersulit
pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi
dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen
dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau
karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi
ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat
aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos
niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan
yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya
mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi
(kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi
publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih
banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk
menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak
kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan,
lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas
pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan
terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi
memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan
ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah
korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan
perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri,
bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar
bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda
sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil
satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi
untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan
lain-lain.
3. Kesejahteraan Umum Negara
Korupsi politis ada di
banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi
politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi
sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat
peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis"
ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan
sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode penelitian ini
menacari informasi dari berbagai sumber untuk menjawab rumusan dan tujuan
masalah. Data yang digunakan penulisan ini menggunakan data sekunder. Data
Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai
sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat
diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku,
laporan, jurnal, dan lain-lain.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Mengapa korupsi bisa terjadi ?
Berikut ini merupakan faktor-faktor penyebab korupsi yang biasanya terjadi:
1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya
sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian
pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut
dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan
pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
4. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan
yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu
mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan
terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu
melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan
melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan
korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau
setidaknya diringankan hukumannya.
Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap
8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu :
menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang
lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya
pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi
pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang
memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada
masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi
dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa
memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan
emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan
umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi
dirinya maupun orang lain. (indopos.co.id, 27 Sept 2005)
B. Bagaimana dampaknya bagi kegiatan bisnis ?
Dampak korupsi terhadap
bisnis dan perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh, secara tidak langsung
akan meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan ketidakmerataan
pembangunan ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga menciptakan perilaku buruk
yang dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat karena
dipengaruhi oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
Bagi perusahaan swasta,
korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan persaingan tidak
sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti tingginya harga
pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh korupsi juga
terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing – masing karyawan
dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan karena perusahaan
– perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan menggunakan sumber daya
yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini dipertahankan, bagi sebagian
perusahaan yang jujur dan masyarakat akan dirugikan, maka cepat atau lambat akan
semakin memperburuk perekonomian di Indonesia serta dapat membentuk kepribadian
masyarakat yang tamak, serakah akan harta dan mementingkan diri sendiri.
C. Siapa yang harus bertanggung jawab ?
Pertanyaan di atas sangat
sederhana, bahkan, barangkali, naif. Namun, jawabannya tidak akan pernah
sederhana, dan juga tidak mungkin akan naif, kecuali jika direkayasa sebagai
pembenaran belaka (justification). Contoh sederhana adalah apa yang terbentang
luas di hadapan negeri ini. Banyak lembaga pengawasan, korupsi juga kian
menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan jumlah
korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat membandingkan
semut dengan gajah. Sejak awal keberadaannya, sesuai Keppres 31 Tahun 1983,
BPKP telah memangku tugas pokok: mempersiapkan perumusan kebijaksanaan
pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan, menyelenggarakan pengawasan
umum dalam penggunaan dan pengurusan keuangan, menyelenggarakan pengawasan
pembangunan. Pelaksanaan tugas pokok tersebut terjabarkan dalam 16 (enambelas)
fungsi, yang salah satunya adalah: “melaksanakan pengawasan khusus terhadap
kasus-kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan dan kasus-kasus yang
diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.” Ke-15
(limabelas) fungsi lainnya adalah dalam rangka pengawasan dalam perbaikan
manajemen. Untuk melaksanakan pemeriksaan khusus, BPKP memperoleh masukan
sebagai dasar pendalaman dari pengaduan masyarakat dan pengembangan dari hasil
pemeriksaan. Tugas yang harus dilaksanakan adalah mengungkapkan:
a.
keterjadian
penyimpangan;
b.
adanya bukti
kerugian keuangan Pemerintah.
c.
adanya bukti
orang atau badan yang melakukan penyimpangan.
d.
adanya bukti
orang atau badan yang menikmati hasil penyimpangan.
Jika diketemukan bukti-bukti tersebut, maka kasusnya akan diteruskan ke
aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung untuk diproses sesuai hukum yang
berlaku. Penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung dari proses hukum, mulai
dari penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan.
Selama ini,
banyak yang mengamati bahwa proses pemeriksaan di pengadilan seringkali
cenderung melemahkan temuan pemeriksaan, sehingga apa yang telah dihasilkan
oleh BPKP tidak terungkap atau tidak terbukti di pengadilan.
D. Lantas, siapa yang harus bertanggungjawab memberantas
korupsi? Korupsi itu, apa?
Menurut kamus Bahasa
Indonesia, korupsi adalah perbuatan busuk, penyelewengan, penggelapan untuk
kepentingan pribadi. Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 1999, unsur-unsur korupsi
adalah: dilakukan oleh orang atau badan, adanya perbuatan melawan hukum,
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan, dan dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kehidupan sehari-hari, praktik
tindak pidana korupsi sendiri sebenarnya juga seringkali tidak disadari oleh
pelaku. Sebagai contoh:
Seseorang menerima sejumlah
pembayaran dari petugas perusahaan atau instansi dengan menandatangani kwitansi
yang nilainya lebih besar dari jumlah yang diterima. Pada kasus demikian, orang
yang bersangkutan merasa tidak bersalah, dengan berfikir bahwa kwitansi
tersebut tidak berhubungan dengan kewajibannya, di mana yang penting uang
diterima sesuai permintaan, meskipun berakibat bahwa perusahaan atau instansi
harus mengeluarkan uang lebih besar dari yang seharusnya. Kelebihan pembayaran
adalah menjadi hak petugas yang bersangkutan. Kasus di atas memenuhi unsur
tindak pidana korupsi, karena: Pertama; yang menandatangani kwitansi telah
melakukan penyimpangan dengan memberik keterangan palsu atau tidak benar;
Kedua; menguntungkan petugas perusahaan; Ketiga; dapat merugikan keuangan
negara atau perusahaan, Keempat; dilakukan oleh yang menandatangani kwitansi.
Apabila seseorang membeli mobil atau motor bekas dengan tidak mengisi tanggal
pembayaran. Dengan tidak mengisi tanggal pembayaran, maka pembeli mobil atau
motor tidak harus membayar bea balik nama dengan segera. Padahal, sesuai
ketentuan, paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah perpindahan
kepemilikan, pemilik baru harus melaporkan perpindahan kepemilikan tersebut dan
membayar bea balik nama. Tindakan tidak memberi tanggal pada kwitansi bagi yang
menjual bukan menjadi sesuatu masalah, karena yang penting uang sudah diterima.
Tapi bagi pembeli, tidak diberi tanggal kwitansi berarti tidak akan segera
balik nama, berarti tidak perlu segera membayar bea balik nama.
Kasus di atas mengandung
unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; dilakukan oleh yang menandatangani
kwitansi; Kedua; tidak memberi tanggal berarti memberi keterangan palsu,
Ketiga; merugikan keuangan negara/daerah, karena tidak segera membayar bea
balik nama, Keempat; menguntungkan pihak pembeli. Jika seseorang menandatangani
kwitansi pembelian tanah dengan nilai lebih rendah dari jumlah yang diterima.
Dengan kwitansi yang lebih rendah berarti baik pembeli maupun penjual akan
membayar pajak terkait lebih rendah dari yang seharusnya. Tindakan ini memenuhi
unsur tindak pidana korupsi, karena:
1.
Yang melakukan
adalah yang menandatangani kwitansi.
2.
Menguntungkan
pihak penjual dan pembeli karena membayar pajak lebih kecil.
3.
Merugikan
keuangan negara karena pajak yang diterima negara lebih kecil.
4.
Melakukan
penyimpangan karena menandatangani tidak sesuai dengan jumlah yang diterima
Contoh-contoh sederhana di
atas hanyalah sebagian kecil dari praktik korupsi sehari-hari yang secara tidak
sadar dan sadar telah dilakukan oleh kelompok masyarakat umum. Hal lain yang
dapat dikelompokkan memenuhi unsure tindak pidana korupsi adalah:
1.
menggunakan
mobil dinas (bukan mobil pejabat) untuk kepentingan pribadi.
2.
tidak
memerintahkan pindah dari rumah dinas walaupun sudah tidak berdinas.
3.
menyewakan aula
kantor dan hasilnya untuk dana kesejahteraan karyawan.
4.
menggunakan
ruang kantor untuk pendidikan suatu yayasan tanpa sewa.
Selama hal-hal di atas tidak bisa dienyahkan, maka pemberantasan korupsi
hanya akan menjadi sebuah utopia. Memang, tindakan-tindakan sebagaimana
dicontohkan di atas terasa kental keberadaannya, meskipun seringkali sulit
menemukan pembuktian keterjadiannya. Misalnya, bukti surat sebagaimana diatur dalam
KUHAP adalah kwitansi yang ditandatangani. Namun, kalau masyarakat tidak
mengakui bahwa kwitansi yang telah ditandatangani adalah salah, maka bagaimana
mungkin pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, pertanyaan
sederhana yang harus diulang adalah siapakah yang harus bertanggungjawab
terhadap korupsi, apakah
1.
Orang yang
menandatangani kwitansi?
2.
Orang yang
membayarkan uangnya?
3.
Orang yang
mengetahui tetapi tidak melapor?
4.
Aparat
pengawasan yang tidak mampu mendeteksi adanya penyimpangan tersebut?
Dalam praktik pemeriksaan, seringkali diketemukan penyimpangan, tetapi
kebanyakan berbenturan dengan kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan
harus berhadapan dengan bukti yang diperlukan, sementara bukti yang dimiliki
telah memenuhi unsur bukti, dan hasil konfirmasi dari yang menerbitkan bukti
adalah benar, dan hasil analisis bukan merupakan bukti, maka apa yang anggapan
pemeriksa bahwa telah terjadi penyimpangan seringkali menjadi tidak mampu diungkapkan.
Masalah-masalah kecil tapi mendasar sebagaimana diungkapkan di atas adalah
salah satu alasan mengapa pemeriksaan seringkali gagal mengungkap tindak pidana
korupsi. Kegagalan dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan aparat,
melainkan karena adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak sadar dan
sadar tidak mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi dari negara
tercinta ini. Jika budaya tertib masyarakat telah tercipta, bisalah diharapkan
efektivitas pemberantasan korupsi. Dengan demikian, diperlukan keikutsertaan
seluruh komponen bangsa, untuk memulai dari yang kecil-kecil, sehingga tercipta
sebuah iklim kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana korupsi yang
besar-besar, yang seringkali tidak terjamah oleh kepastian hukum.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
diatas, moralitas memang sangat dibutuhkan bagi setiap insan manusia. Moralitas
dapat menjadi tolak ukur bagi manusia untuk mebedakan mana perbuatan yang baik
dan mana yang buruk. Banyak sekali faktor yang dapat menjadi penyebab
terjadinya korupsi, dari faktor tersebut lagi lagi adalah hokum yang merupakan
salah satu keadilan bagi rakyat tidak bisa berbuat apa apa untuk para koruptor,
dan mungkin itu salah satu juga yang menjadi surga bagib para koruptor untuk
melakukan kegiatan korupsinya, semakin lemah kekuatan hukumnya semakin besar
celah korupsi bagi para koruptor.
B. Saran
Tanamkanlah sikap disiplin
dan juga pendidikan agama yang baik sejak dini, itu merupakan modal awal
manusia untuk bisa mencegah segala perbuatan korupsi yang dapat merugikan
Negara. Dan juga menguatkan kekuatan hukum bagi pelaku korupsi, seperti hukuman
mati. Karena hukuman penjara bagi mereka, itu merupakan hukuman yang sangat
mudah dan malah menjadi banyak yang tertarik dengan melakukan tindak korupsi
tersebut. Jadi, korupsi tidak akan pernah punah jika memang tidak ada kesadaran
dari diri masing-masing. Untuk itu, jika ingin mencoba melawan korupsi, cobalah
dari diri kita sendiri, jangan hanya bisa melakukan pencitraan, yaitu berbicara
melawan korupsi, tetap dibelakangnya dia melakukan itu.
Sumber :
Axel Dreher,
Christos Kotsogiannis, Steve McCorriston (2004), Corruption Around the
World: Evidence from a Structural Model
Tidak ada komentar:
Posting Komentar